Minggu, 24 April 2011

Ketidakpercayaan Publik terhadap Pemerintah Bertambah

Metrotvnews.com, Jakarta: Publik tidak percaya terhadap komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memerangi korupsi. Strategi pemerintah untuk menutupi kegagalan melalui pencitraan mengalami kebuntuan.

Kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi mengalami penurunan. Survei isu strategis yang dilakukan oleh Institute for Strategic and Public Policy Research (Inspire) menunjukkan bahwa 60 persen responden tidak percaya atas kesungguhan Presiden Yudhoyono dalam memerangi korupsi.


Survei ini dilakukan terhadap 1.500 responden yang tersebar di 15 kota besar, yakni Medan, Palembang, Padang, Bandarlampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Palu, Manado, Denpasar, dan Kupang. Inspire mengambil 100 responden di masing-masing kota.

Ketua Peneliti Inspire Marbawi A Katon mengungkapkan rendahnya kepercayaan publik ini mengejutkan. Sebab, di lain pihak, 39,3 persen responden meyakini bahwa Presiden Yudhoyono sudah melakukan intervensi hukum. "Akibatnya, kepercayaan terhadap penegakan hukum secara keseluruhan juga terpengaruh," ungkapnya dalam jumpa pers di Jakarta, Ahad (24/4).

Terbukti, kepercayaan publik atas penuntasan mafia pajak dan rekening gendut polisi juga rendah. Sebanyak 70 persen responden tidak percaya pemerintah akan optimal melakukan penuntasan mafia pajak. Dan 56,4 persen responden tidak percaya penyelesaian rekening gendut polisi.

Padahal, survei ini menitikberatkan pada tiga pokok pembahasan, yakni isu strategis, sembilan kebohongan pemerintah, dan Wikileaks. Pengamat Sosiologi Sosial Politik Universitas Paramadina Abdul Malik Gismar mengungkapkan ketidakpercayaan publik menunjukkan keresahan terhadap kepemimpinan nasional dan kinerja pemerintah.

Ia menyebutkan Presiden Yudhoyono tidak mampu mengambil langkah politik tegas dalam penyelesaian masalah. Terbukti, ketika penyelesaian kinerja pemerintah terhambat oleh perseteruan politik koalisi, malah tidak ada tindakan tegas.

"Sekitar 61,1 persen responden menghendaki reshuffle kabinet tetapi presiden diam saja. Alhasil, kinerja presiden dan kabinet terpisah dengan keinginan mayoritas masyarakat. Keresahan masyarakat adalah gangguan politik, bukan ketidakmampuan," jelasnya.

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Nico Harjanto menambahkan kini pemerintah berupaya menutup kelemahan ini melalui pencitraan. Namun, rakyat sudah cukup cerdas untuk melihat aspek di balik pencitraan ini. Alhasil, pencitraan pun menemui kebuntuan.

"Politik pencitraan mengalami kegagalan. Namun, bukan karena kegagalan konsultan pencitraan sendiri melainkan karena faktor kepemimpinan yang tak menyediakan penyelesaian," tandasnya.(MI/BEY).

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates